Sabtu, 03 Juni 2017

Dua Rakaat Sebelum Subuh Mengalahkan Dunia Seisinya


Di antara shalat-shalat sunnah, ada shalat sunnah yang memiliki keutamaan yang tak ternilai harganya. Dua rakaat yang memiliki keutamaan, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Sebuah amalan ringan, namun sarat pahala, yang tidak selayaknya disepelekan seorang hamba. Amalan tersebut adalah dua rakaat shalat sunnah sebelum subuh atau disebut juga shalat sunnah fajar.
 Banyak sekali istilah yang digunakan untuk menunjukan dua rakaat sebelum shubuh. Dari redaksi hadits tersebut sebagian ulama mengatakannya shalat sunnah fajar. Adapula yang menamainya sebagai shalat sunnah subuh karena dilakukan sesebelum shalat subun. Ada pula yang mengatakan shalat sunnah barad mungkin karena dilaksanakan ketika hari masih dingin. Ada pula yang menamakan shalat sunnah ghadat yaitu shalat sunnah yang dilakukan pagi-pagi sekali.
 Oleh karena itu dalam Nihayatuz Zain, Syaikh Nawawi memperbolehkan niat shalat dua rakaat subuh ini dengan berbagai macam istilah tersebut. Misalkan ushalli sunnatal fajri rok’ataini ada’an lillahi ta’ala. Atau boleh juga ushalli sunnatal barodi rok’ataini ada’an lillahi ta’ala  sunnatas  subhi, dan seterusnya. Atau boleh juga yang lebih lengkap adalah
اُصَلِّيْ سُنَّةَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى
Usholli sunnatas shubhi rok'ataini mustaqbilal qiblati adaa-an lillaahi ta'aala.                                                  
 Di samping itu yang harus diperhatikan adalah anjuran untuk tidak berlama-lama dalam shalat, mengingat predikat shalat ini adalah shalat sunnah. Walaupun nilainya lebih berharga daripada dunia seisinya.
Keutamaanya
 Dikisahkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْر
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan satu shalat sunnah pun yang lebih beliau jaga dalam melaksanakannya melebihi dua rakaat shalat sunnah subuh.” (HR Bukhari 1093 dan Muslim 1191)
 Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “ Ketika safar (perjalanan), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap rutin dan teratur mengerjakan shalat sunnah fajar dan shalat witir melebihi shalat-shalat sunnah yang lainnya. Tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaksankan shalat sunnah  rawatib selain dua shalat tersebut selama beliau melakukan safar (Zaadul Ma’ad I/315)
 Keutamaan shalat sunnah subuh ini secara khusus juga disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat shalat sunnah subuh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.”(HR. Muslim725).
 Lihatlah saudaraku, suatu keutamaan yang sangat agung yang merupakan karunia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak selayaknya seorang hamba melewatkan kesempatan untuk dapat meraihnya.
Melakukannya dengan Ringkas
 Di antara petunjuk dan contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua rakaat shalat sunnah subuh adalah dengan meringankannya dan tidak memanjangkan bacaannya, dengan syarat tidak melanggar perkara-perkara yang wajib dalam shalat. Hal ini ditunjukkan oleh kisah berikut :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ
Dari Ibnu Umar, beliau berkata bahwasanya Hafshah Ummul Mukminin telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu bila muadzin selesai mengumandangkan adzan untuk shalat subuh dan telah masuk waktu subuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat sunnah dua rakaat dengan ringan sebelum melaksanakan shalat subuh.( HR Bukhari 583).
 Diceritakan juga oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat ringan antara adzan dan iqamat shalat subuh.”(HR. Bukhari 584)
‘Asiyah radhiyallahu ‘anha juga menjelaskan ringannya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyatakan :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan dua rakaat shalat sunnah subuh sebelum shalat fardhu Subuh, sampai-sampai aku bertanya : “Apakah beliau membaca surat Al-Fatihah?” (HR Bukhari 1095 dan Muslim 1189)
 Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat ketika melaksanakan shalat sunnah subuh. Tentu saja yang dimaksud meringankan shalat di sini dengan tetap menjaga rukun dan hal-hal yang wajib dalam shalat.
Bacaan Pada Setiap Rakaat
 Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bacaan surat yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah membaca surat Al Fatihah dalam shalat sunnah subuh.
Pertama. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua rakaat shalat sunnah subuh surat Al Kafirun dan surat Al Ikhlas” (H.R Muslim 726)
Kedua. Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca ayat قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا  (Al Baqarah 136) pada rakaat pertama  dan membaca آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ  (Ali Imran 52) pada rakaat kedua” ( HR. Muslim 727).
 Ketiga.Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca firman Allah قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا (Al Baqarah 136) dan membaca تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ (Ali Imran 64)” (HR. Muslim 728).
 Ringkasnya, ada tiga jenis variasai yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat sunnah subuh, yaitu :
1.Rakaat pertama membaca surat Al Kafirun dan rakaat kedua membaca surat Al Ikhlas
2.Rakaat pertama membaca  ayat dalam surat Al Baqarah 136:
قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran 52 :
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللّهِ آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
3.Rakaat pertama membaca ayat dalam surat Al Baqarah 136:
ُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran ayat 64 :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Itulah beberapa ayat yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat sunnah subuh. Namun demikian tetap dibolehkan juga membaca selain ayat-ayat di atas.
Berbaring Sejenak Setelahnya
 Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbaring di sisi tubuh sebelah kanan setelah melakukan shalat sunnah subuh. Di antaranya adalah hadits berikut :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا سَكَتَ اْلمُؤَذّنُ بِاْلأُوْلَى مِنْ صَلاَةِ اْلفَجْرِ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ اْلفَجْرِ بَعْدَ اَنْ يَسْتَبِيْنَ اْلفَجْرُ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقّهِ اْلاَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ اْلمُؤَذّنُ لِلإِقَامَةِ
“Apabila muadzdzin telah selesai adzan untuk shalat subuh, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum shalat subuh, beliau shalat ringan lebih dahulu dua rakaat sesudah terbit fajar. Setelah itu beliau berbaring pada sisi lambung kanan beliau sampai datang muadzin kepada beliau untuk iqamat shalat subuh.” (HR Bukhari 590)
 Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berbaring setelah shalat sunnah subuh dalam beberapa pendapat :
Pertama. Hukumnya sunnah secara mutlak. Ini adalah madzhab Syafi’i dan ini adalah pendapat Abu Musa Al ‘Asy’ari, Rafi’ bin Khadij, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.
Kedua. Hukumnya wajib. Ini adalah madzhab Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah. Bahkan beliau terlalu berlebihan  dengan menjadikannya sebagai syarat sahnya shalat subuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata sebagaimana dinukil Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad I/319 : “ Ini adalah termasuk pendapat yang beliau bersendiri dengan pendapat tersebut dari para imam yang lain”
Ketiga. Hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat kebanyakan para salaf. Di anatarnya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnul Musayyib, dan An Nakha’i rahimahumullah. Al Qadhi ‘Iyad rahimahullah menyebutkan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa tidak diketahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa beliau melakukannya di masjid. Seandainya beliau melakukannya, tentu akan dinukil secara mutawatir.
Keempat. Hukumnya menyelisihi perkara yang lebih utama. Ini adalah pendapat Hasan Al Bashri rahimahullah.
Kelima. Hukumnya mustahab bagi yang melakukan shalat malam agar dapat beristirahat. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul ‘Arabi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah.
Keenam. Berbaring di sini bukanlah inti yang dimaksud, namun yang dimaksud adalah memisahkan antara shalat sunnah dan shalat wajib. Ini diriwayatkan dari pendapat Imam Syafi’i. Namun pendapat ini tertolak,  sebab pemisahan waktu memungkinkan dilakukan dengan selain berbaring.
 Kesimpulannya, yang lebih tepat dari pendapat-pendapat di atas bahwa berbaring setelah shalat sunnah subuh hukumnya mustahab (dianjurkan), asalkan memenuhi dua syarat :
1.Berbaring dilakukan di rumah dan bukan di masjid karena tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukannya di dalam masjid.
2.Hendaknya orang yang melakukan sunnah ini, mampu untuk bangun kembali dan tidak tertidur sehingga tidak terlambat untuk melakukan shalat subuh secara berjamaah.
Lakukanlah di Rumah
 Inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat-shalat sunnah.. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat sunnah di rumah dan memerintahkan agar rumah kita diisi dengan ibadah shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجْعَلُوا فِى بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ ، وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
“Jadikanlah shalat (sunnah) kalian di rumah kalian. Janganlah jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Bukhari  1187)
 Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَفْضَلُ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
“Sebaik-baik shalat seseorang adalah shalat di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731 dan Ahmad 5: 186, dengan lafazh Ahmad)
 Termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan shalat sunnah di rumah, termasuk shalat sunnah subuh. Namun, jika dikhawatirkan ketinggalan shalat berjamaah di masjid atau terluput dari mendapatkan shaf pertama, maka diperbolehkan untuk melaksanakannya di masjid.
Jika Terluput Melakukannya
 Disyariatkan bagi yang tidak sempat melakukan shalat sunnah subuh untuk melaksanakannya setelah selesai shalat subuh atau setelah terbit matahari. Hal tersebut berdasarkan dalil-dalil di bawah ini.
 Hadits Abu Hurairah rahidyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ؛ فَلْيُصَلِّهُمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ
 “Barangsiapa yang belum shalat sunnah dua rakaat subuh maka hendaknya melakukannya setelah terbit matahari”. (HR. At Tirmidzi  424, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi: 1/133).
 Hadits ini menunjukkan disyariatkan bagi orang yang belum sempat melaksanakan shalat sunnah subuh agar meng-qadha’-nya setelah matahari terbit.
 Boleh juga dikerjakan tepat setelah selesai shalat subuh.Dalam hadits yang lain disebutkan :
عَنْ قَيْسِ بْنِ قَهْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الصُّبْحَ ، وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ؛ سَلَّمَ مَعَهُ ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ
Dari Qais bin Qahd radhiyallahu’anhu, bahwasanya ia shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belum melakukan shalat sunnah dua rakaat qabliyah subuh. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah salam maka ia pun salam bersama beliau, kemudian ia bangkit dan melakukan shalat dua rakaat qabliyah subuh, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat perbuatan tersebut dan tidak mengingkarinya. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi: 1/133).
 Kesimpulannya, diperbolehkan meng-qadha dua rakaat shalat sunnah qabliyah subuh setelah shalat subuh yang wajib. Pelaksanaannya bisa langsung setelah selesai shalat wajib atau setelah matahari terbit.
Bersemangatlah Menjaganya
 Saudaraku, bersemangatlah untuk menjaga dua rakaat ini. Amalan yang ringan, namun besar pahalanya. Dan sebaik-baik amalan, adalah amalan yang kontinyu dalam pelaksanaannya. Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
 أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinyu, walaupun sedikit.” (HR. Muslim 783)
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela seseorang yang tidak kontinyu dalam beramal. Dikisahkan oleh sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku :
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari 1152)
 Semoga sajian ringkas ini bermanfaat. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk senantiasa melaksanakan amalan-amalan sunnah. Wallahul musta’an.
Catatan redaksi:
 Shalat sunnah fajar sama istilahnya dengan shalat sunnah qabliyah shubuh. Sebagian orang membedakan kedua istilah ini karena hanya salah paham. Namun yang benar keduanya itu sama yaitu dikerjakan setelah adzan shubuh.
 Sumber    : Shahih Fiqh Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim hafidzahullah

Jumat, 26 Mei 2017

Jangan Mudah Menganggap Orang Lain Munafik

Oleh Nadirsyah Hosen

Buya Hamka diminta menshalati jenazah Bung Karno. Sebagian pihak mencegah Buya Hamka dengan alasan Bung Karno itu Munafik dan Allah telah melarang Rasul menshalati jezanah orang Munafik (QS al-Taubah:84). Buya Hamka menjawab kalem, "Rasulullah diberitahu sesiapa yang Munafik itu oleh Allah, lha saya gak terima wahyu dari Allah apakah Bung Karno ini benar Munafik atau bukan." Maka Buya Hamka pun menshalati jenazah Presiden pertama dan Proklamator Bangsa Indonesia.

Itulah sikap ulama yang shalih. Beliau sadar bahwa memberi label terhadap orang lain merupakan hak prerogatif Allah. Ciri-ciri Munafik yang disebutkan dalam Al-Qur’an seharusnya membuat kita mawas diri, bukan malah digunakan untuk menyerang sesama Muslim, apalagi hanya karena perbedaan pilihan politik.

Larangan buat Rasul menshalati jenazah orang Munafik itu karena doa Rasul maqbul jadi tidak selayaknya Rasul turut mendoakan kaum Munafik. Akan tetapi para sahabat yang lain tetap menshalatkan orang yang diduga Munafik karena para sahabat tidak tahu dengan pasti mereka itu benar-benar Munafik atau tidak. Rasul hanya menceritakan bocoran dari langit sesiapa yang Munafik itu kepada sahabat yang bernama Huzaifah. Huzaifah tidak pernah mau membocorkannya meski didesak Umar bin Khattab. Walhasil Umar tidak ikut menshalati jenazah bila dia lihat diam-diam Huzaifah tidak ikut menshalatinya, tetapi Umar sebagai khalifah tidak pernah melarang sahabat lain untuk ikut menshalati jenazah tersebut. Belajarlah kita dari sikap Umar, Huzaifah dan Buya Hamka.

Masalah kepemimpinan umat itu buat Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) bukan perkara aqidah. Lihat saja rukun iman dan rukun Islam kita tidak menyinggung soal kepemimpinan. Ini perkara siyasah, bukan aqidah. Jadi, Aswaja tidak akan mudah mengkafirkan atau memunafikkan orang lain hanya gara-gara persoalan politik. Kalau ada yang sampai tega mengkafirkan sesama Muslim hanya karena persoalan politik dapat dipastikan dia bukan bagian dari Aswaja.

Kitab Aqidah Thahawiyah yang menjadi pegangan ulama salaf mengingatkan kita semua:

‎. لا ننزل أحد منهم جنة ولا نارا، ولا نشهد عليهم بكفر ولا شرك ولا بنفاق ما لم يظهر منهم شيء
‎ من ذلك، ونذر سرائرهم إلى الله تعالى

"Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka masuk surga atau neraka. Kami tidak pula menyatakan mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama tidak tampak lahiriah mereka seperti itu. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala".

Begitulah berhati-hatinya para ulama salaf menilai status keimanan orang lain. Apa yang tampak secara lahiriah bahwa mereka itu shalat, menikah secara Islam, berpuasa Ramadhan, maka cukup mereka dihukumi secara lahiriah sebagai Muslim, di mana berlaku hak dan kewajiban sebagai sesama Muslim, seperti berta'ziyah, menshalatkan dan menguburkan mereka. Masalah hati mereka, apakah ibadah mereka benar-benar karena Allah ta'ala itu hanya Allah yang tahu. Itulah sebabnya Buya Hamka tidak ragu memimpin shalat jenazah Bung Karno.

Imam al-Ghazali juga telah mengingatkan kita semua dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah:

‎ولا تقطع بشهادتك على أحد من أهل القبلة بشرك أو كفر أو نفاق؛ فإن المطلع على السرائر هو الله تعالى، فلا تدخل بين العباد وبين الله تعالى، واعلم أنك يوم القيامة لا يقال لك: لِم لمَ تلعن فلانا، ولم سكت عنه؟ بل لو لم تعلن ابليس طول عمرك، ولم تشغل لسانك بذكره لم تسأل عنه ولم تطالب به يوم القيامة. وإذا لعنت أحدا من خلق الله تعالى طولبت به،

“Janganlah engkau memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang ahli kiblat (orang Islam). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia hanyalah Allah SWT. Jangan pula engkau ikut campur dalam urusan hamba-hamba Allah dengan Allah SWT. Ketahuilah, bahwa pada hari kiamat kelak engkau tidak akan ditanya : 'mengapa engkau tidak mau mengutuk si Anu? Mengapa engkau diam saja tentang dia?' Bahkan seandainya pun kau tidak pernah mengutuk Iblis sepanjang hidupmu, dan tidak menyebutnya sekalipun, engkau pun tidak akan ditanyai dan tidak akan dituntut oleh Allah nanti di hari kiamat. Tetapi jika kau pernah mengutuk seseorang makhluk Allah, kelak kau akan dituntut (pertanggungjawabannya oleh Allah SWT)".

Belakangan ini di medsos seringkali banyak yang berkomentar "anda Muslim?" untuk meragukan dan mempertanyakan keislaman orang lain hanya karena berbeda pendapat. Atau menjadi viral saat ini ajakan untuk tidak menshalatkan jenazah mereka yang memilih pemimpin non-Muslim karena dianggap Munafik. Penjelasan saya di atas telah menunjukkan bahwa sikap meragukan keislaman orang lain dan mudah memvonis orang lain Munafik adalah sikap yang tidak pantas dilakukan sesama Muslim. Para sahabat Nabi dan ulama salaf akan berhati-hati dalam soal ini.

Mari kita jaga ukhuwah keislaman, ukhuwah kebangsaan, dan ukhuwah kemanusiaan.

Penulis adalah Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash La  School.

Original post

http://www.nu.or.id/post/read/75551/jangan-mudah-menganggap-orang-lain-munafik

Rabu, 10 Februari 2016

AHLUL HADITS



بسم الله الرحمن الرحيم


1. KHALIFAH AR-RASYIDIN :
• Abu Bakr Ash-Shiddiq   رضي الله عنه
• Umar bin Al-Khaththab  رضي الله عنه
• Utsman bin Affan  رضي الله عنه
• Ali bin Abi Thalib  رضي الله عنه


2. AL-ABADILLAH :
• Ibnu Umar   رضي الله عنه
• Ibnu Abbas  رضي الله عنه
• Ibnu Az-Zubair  رضي الله عنه
• Ibnu Amr  رضي الله عنه
• Ibnu Mas’ud  رضي الله عنه
• Aisyah binti Abubakar  رضي الله عنه
• Ummu Salamah  رضي الله عنه
• Zainab bint Jahsy  رضي الله عنه
• Anas bin Malik  رضي الله عنه
• Zaid bin Tsabit  رضي الله عنه
• Abu Hurairah  رضي الله عنه
• Jabir bin Abdillah  رضي الله عنه
• Abu Sa’id Al-Khudri  رضي الله عنه
• Mu’adz bin Jabal  رضي الله عنه
• Abu Dzarr al-Ghifari  رضي الله عنه
• Sa’ad bin Abi Waqqash  رضي الله عنه
• Abu Darda’  رضي الله عنه


3. PARA TABI’IN :
• Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H  رحمه الله
• Urwah bin Zubair wafat 99 H  رحمه الله
• Sa’id bin Jubair wafat 95 H  رحمه الله
• Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H رحمه الله
• Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H رحمه الله
• Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H  رحمه الله
• Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H رحمه الله
• Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq رحمه الله
• Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H  رحمه الله
• Muhammad bin Sirin wafat 110 H رحمه الله
• Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H  رحمه الله
• Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H رحمه الله
• Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H رحمه الله
• Ikrimah wafat 105 H رحمه الله
• Asy Sya’by wafat 104 H رحمه الله
• Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H رحمه الله
• Aqamah wafat 62 H رحمه الله


4. PARA TABI’UT TABI’IN :
• Malik bin Anas wafat 179 H  رحمه الله
• Al-Auza’i wafat 157 H رحمه الله
• Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H رحمه الله
• Sufyan bin Uyainah wafat 193 H رحمه الله
• Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H  رحمه الله
• Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H رحمه الله
• Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H رحمه الله


5. ATBA’ TABI’IT TABI’IN : SETELAH PARA TABI’UT TABI’IN:
• Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H رحمه الله
• Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H  رحمه الله
• Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H  رحمه الله
• Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H رحمه الله
• Imam Syafi’i wafat 204 H رحمه الله


6. MURID-MURID ATBA’ TABI’IT TABI’IN :
• Ahmad bin Hambal wafat 241 H  رحمه الله
• Yahya bin Ma’in wafat 233 H رحمه الله
• Ali bin Al-Madini wafat 234 H  رحمه الله
• Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H رحمه الله
• Ibnu Rahawaih Wafat 238 H رحمه الله
• Ibnu Qutaibah Wafat 236 H رحمه الله


7.  MURID-MURIDNYA SEPERTI:
• Al-Bukhari wafat 256 H رحمه الله
• Muslim wafat 271 H رحمه الله
• Ibnu Majah wafat 273 H رحمه الله
• Abu Hatim wafat 277 H رحمه الله
• Abu Zur’ah wafat 264 H رحمه الله
• Abu Dawud : wafat 275 H رحمه الله
• At-Tirmidzi wafat 279  H رحمه الله
• An Nasa’i wafat 234 H رحمه الله


8. GENERASI BERIKUTNYA :  YANG BERJALAN DIATAS DI JALAN MEREKA ADALAH:
• Ibnu Jarir ath Thabary wafat 310 H رحمه الله
• Ibnu Khuzaimah wafat 311 H رحمه الله
• Muhammad Ibn Sa’ad wafat 230 H رحمه الله
• Ad-Daruquthni wafat 385 H رحمه الله
• Ath-Thahawi wafat 321 H رحمه الله
• Al-Ajurri wafat 360 H رحمه الله
• Ibnu Hibban wafat 342 H رحمه الله
• Ath Thabarany wafat 360 H رحمه الله
• Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H رحمه الله
• Al-Lalika’i wafat 416 Hرحمه الله
• Al-Baihaqi wafat 458 H رحمه الله
• Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H رحمه الله
• Ibnu Qudamah Al Maqdisi wafat 620 H رحمه الله


9. MURID-MURID MEREKA :
• Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 H رحمه الله
• Ibnu Taimiyah wafat 728 H رحمه الله
• Al-Mizzi wafat 742 H  رحمه الله
• Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H)  رحمه الله
• Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)رحمه الله
• Ibnu Katsir wafat 774 H  رحمه الله
• Asy-Syathibi wafat 790 H رحمه الله
• Ibnu Rajab wafat 795 H رحمه الله


10. ULAMA GENERASI AKHIR :
• Ash-Shan’ani wafat 1182 H رحمه الله
• Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H رحمه الله
• Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H رحمه الله
• Al-Mubarakfuri wafat 1427 H رحمه الله
• Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H رحمه الله
• Ahmad Syakir wafat 1377 H رحمه الله
• Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 Hرحمه الله
• Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H رحمه الله
• Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H رحمه الله
• Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H رحمه الله
• Hammad Al-Anshari wafat 1418 H رحمه الله
• Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H رحمه الله
• Muhammad Al-Jami wafat 1416 H رحمه الله
• Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin  wafat 1423 H رحمه الله
• Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H رحمه الله
• Shalih bin Fauzan Al-Fauzan حفظهالله
• Abdul Muhsin Al-Abbad حفظهالله
• Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali  حفظهالله


PARA ULAMA SALAF LAINNYA


PARA ULAMA SALAF AHLUL HADITS SELAIN YANG DISEBUTKAN DIATAS YANG MASYUR DIZAMANNYA ANTARA LAIN :
◾Imam Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam (wafat 220H) رحمه الله
◾Ibnu Abi Syaibah (159-235 H) رحمه الله
◾Imam Asy Syaukani (172-250 H) رحمه الله
◾Imam al-Muzanniy (wafat 264H) رحمه الله
◾Imam Al Ajurri (190-292H) رحمه الله
◾Imam Al Barbahari (wafat 329 H) رحمه الله
◾Abdul Qadir Al Jailani (471-561 H) رحمه الله
◾Al-Hafidh Al Mundziri 581-656H رحمه الله
◾Imam Nawawi (631-676H) رحمه الله
◾Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H) رحمه الله
◾Ibnu Hajar Al ‘Asqolani (773-852 H) رحمه الله
◾Imam As Suyuti (849-911 H) رحمه الله



KELUARGA RASULULLAH
صلى ا لله عليه وسلم
ISTRI- ISTRI NABI زوجات النبي :
◾Khadijah binti Khuwailid (wafat 3 SH) رضيالله عنها
◾Zainab binti Khuzaimah (wafat 1 SH) رضيالله عنها
◾Aisyah binti Abu Bakar (wafat 57 H) رضيالله عنها
◾Hafsah binti Umar (wafat 45 H) رضيالله عنها
◾Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H) رضيالله عنها
◾Maimunah binti Harits (wafat 50 H) رضيالله عنها
◾Mariah Qibtiah (wafat 16 H) رضيالله عنها
◾Saudah binti Zam`ah (wafat 23 H/ 643 M) رضيالله عنها
◾Sofiah binti Huyai bin Akhtab (wafat 50 H) رضيالله عنها
◾Ummu Habibah binti Abu Sofyan (wafat 44 H) رضيالله عنها
◾Ummu Salamah (wafat 57 H) رضيالله عنها
◾Zainab binti Jahsy (wafat 20 H) رضيالله عنها


PUTRA-PUTRI NABI :
◾Al- Qasim bin Muhammad
◾Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.) رضيالله عنها
◾Ruqayyah binti Muhammad (wafat 2 H) رضيالله عنها
◾Ummu Kultsum (wafat 9 H) رضيالله عنها
◾Fatimah Az-Zahra (wafat 11 H) رضيالله عنها
◾Abdullah bin Muhammad (meninggal ketika kecil)
◾Ibrahim bin Muhammad  (wafat 10 H ketika kecil)


CUCU NABI :
◾Abdullah bin Usman bin Affan (Putra Ruqayyah)
◾Ali bin Abul Ash (Putra Zainab.meninggal ketika kecil.)
◾Hasan bin Ali bin Abu Talib (3-50 H.)
◾Husain bin Ali bin Abu Talib (4-61 H)
◾Zainal Abidin (wafat 93H)
◾Ummi Kultsum binti Ali bin Abu Thalib (wafat.75H)


PAMAN NABI :
◾Abbas bin Abdul Mutalib (wafat 32 H)
◾Abu Thalib bin Abdul Muthalib (wafat 3 SH)
◾Hamzah bin Abdul Mutalib (wafat 3 H)


PARA SAHABAT RASULULLAH
صلى ا لله عليه وسلم
◾Abdullah bin Jahsy (wafat 3 H)  رضي الله عنه
◾Abbas bin Abdul Muthalib (wafat 32 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Abbas (wafat 68 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Amru bin Ash (wafat 65 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Khuzafah As Sahmi (wafat 28 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Masud bin Gafil (wafat 32 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Rawahah (wafat 8 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Salam (wafat 43 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Umar bin Khattab (wafat 73 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Ummi Maktum (wafat 14 H)  رضي الله عنه
◾Abdullah bin Zubair (wafat 73 H)  رضي الله عنه
◾Abdurrahman bin Auf (wafat 32 H)  رضي الله عنه
◾Abu Bakr Siddik (51 SH-13 H)  رضي الله عنه
◾Abu Dardaa (wafat 32 H)   رضي الله عنه
◾Abul Ash bin Rabi’ al Absyamial Qurasyi  رضي الله عنه
◾Abu Sufyan bin Harists   رضي الله عنه
◾Abu Thalhah An.Anshary  رضي الله عنه
◾Abu Dzarr Al Gifari (wafat 32 H) رضي الله عنه
◾Adi bin Hatim (wafat 68 H)  رضي الله عنه
◾Ali bin Abu Thalib (23 SH-40 H)  رضي الله عنه
◾Anas bin Malik bin Nadar (wafat 93 H)  رضي الله عنه
◾Bilal bin Rabah Al Habasyi (wafat 20 H)  رضي الله عنه
◾Hakim bin Huzam (wafat 54 H)  رضي الله عنه
◾Hamzah bin Abdul Muthalib (wafat 3 H)  رضي الله عنه
◾Hasan bin Ali (wafat 50 H)  رضي الله عنه
◾Husein bin Ali (Wafat ..H)  رضي الله عنه
◾Huzaifah bin Yamman (wafat 36 H)  رضي الله عنه
◾Jakfar bin Abu Thalib (wafat 8 H)  رضي الله عنه
◾Muawwiyah bi Abu Sofyan (20 SH-60 H)  رضي الله عنه
◾Muaz bin Jabal (wafat 18 H)  رضي الله عنه
◾Rabi’ah bin Ka’ab  رضي الله عنه
◾Said bin Amir Huzaim Al Jumahi  رضي الله عنه
◾Said bin Zaid  رضي الله عنه
◾Tsumamah bin ‘Utsal  رضي الله عنه
◾Thufeil bin Amr Addausi  رضي الله عنه
◾Umar bin Khaththab (40 SH-23 H)  رضي الله عنه
◾Umair bin Sa’ad  رضي الله عنه
◾Usamah bin Zaid  رضي الله عنه
◾Uqbah bin ‘Amir al Juhani  رضي الله عنه
◾Ustman bin Afffan (47 SH-35 H)  رضي الله عنه
◾Usaid bin Hudhair رضي الله عنه
◾Zaid bin Tsabit (wafat 45 H) رضي الله عنه


PARA SHAHABIYAH RASULULLAH
صلى ا لله عليه وسلم
◾Asma binti Abu Bakar (wafat 73 H) رضيالله عنها
◾Asma Binti Yazid Al-Anshariah (wafat 30 H) رضيالله عنها
◾Asma binti ‘Umais (Ummu Ubdillah) رضيالله عنها
◾Asy Syfa binti Harits رضيالله عنها
◾Barirah maulah ‘Aisyah رضيالله عنها
◾Hamnah bintu Jahsyi رضيالله عنها
◾Hindun binti ‘Utbah رضيالله عنها
◾Khansa binti Amru wafat 24 H رضيالله عنها
◾Khaulah binti Tsa’labah رضيالله عنها
◾Rubai bin Ma’udz رضيالله عنها
◾Raihanah binti Zaid bin Amru رضيالله عنها
◾Shafiyah binti Abdul Muththalib رضيالله عنها
◾Sumayyah binti Khayyath رضيالله عنها
◾Umamah Bintu Abil ‘Ash رضيالله عنها
◾Ummu Athiyyah Al-Anshariyah رضيالله عنها
◾Ummu ‘Aiman (Barkah bintu Tsa’labah bin ‘Amr) رضيالله عنها
◾Ummu Fadhl (Lubabah binti al-Haris) رضيالله عنها
◾Ummu Hani’ binti Abi Thalib رضيالله عنها
◾Ummu Syuraik al Quraisyiah رضيالله عنها
◾Ummu Haram (Malikah binti Milhan bin Khalid Al-Anshariah) wafat 28 H رضيالله عنها
◾Ummu Halim bin Harits رضيالله عنها
◾Ummu Umarah (Nusaibah binti Kaab) wafat 13 H رضيالله عنها
◾Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah رضيالله عنها
◾Ummu Waraqah binti Naufal رضيالله عنها
◾Ummu Ruman bintu ‘Amir رضيالله عنها
◾Ummu Sulaim binti Malhan رضيالله عنها



PARA TABI’IN DAN TABIUT TABI’IN
◾Abdullah bin Tsuaib (Abu MuslimAl Khaulani)  رحمه الله
◾Abdullah bin al-Mubarak  رحمه الله
◾Abu Hanifah رحمه الله
◾Aisyah binti Thalhah  رحمه الله
◾Amir Bin Abdillah Attamimi  رحمه الله
◾Atba’ bin Abi Rabah  رحمه الله
◾Zainal Abidin bin Husain Ali Abithalib  رحمه الله
◾Hasan Al-Bashri  رحمه الله
◾Muhammad ibnu Wa’asi al Azdiy  رحمه الله
◾Muhammad bin Sirin  رحمه الله
◾Rabi’ah ar Ra’yi رحمه الله
◾Said Ibnu al Musayaab  رحمه الله
◾Said ibnu Jubair  رحمه الله
◾Salamah ibnu Dinar  رحمه الله
◾Shilah bin Asy Syam al ‘Adawi  رحمه الله
◾Syuraih al Qadli  رحمه الله
◾Thaawus ibnu Kaisan  رحمه الله
◾Urwah bin Zubair  رحمه الله
◾Umar bin Abdul Aziz  رحمه الله
◾Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz  رحمه الله
◾Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr  رحمه الله




25 NABI DAN RASUL
◾Adam, Idris  عليه السلام
◾Nuh, Hud, Saleh   عليه السلام
◾Ibrahim, Ismail   عليه السلام
◾Luth, Ishaq, Yaqub   عليه السلام
◾Yusuf   عليه السلام
◾Ayyub, Zulkifli, Syu’aib   عليه السلام
◾Musa, Harun   عليه السلام
◾Daud, Sulaiman   عليه السلام
◾Ilyas, Ilyasa, Yunus   عليه السلام
◾Zakaria, Yahya, Isa   عليه السلام
◾Muhammad  صلى ا لله عليه وسلم


original post: https://ashhabulhadits.wordpress.com/ahlul-hadits/

Jumat, 23 Oktober 2015

Mimpi Syech Abu Hasan tentang kitab Ihya Ulumuddin

Mimpi Syech Abu Hasan tentang kitab Ihya Ulumuddin





Syaikh Abu Hasan bin Hizrim al-Mughrabi ~ menelaah dan mempelajari kitab Ihya Ulumuddin karya hujjatul Islam,~Imam Ghazali dihadapan murid-muridnya.
Tak lama kemudian, …dengan lantangnya ia mengatakan kepada murid-muridnya “Ini adalah kitab bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah, ini kitab yang tidak benar”.
Pendapat Abu Hasan disebabkan apa yang tertulis dalam kitab itu tidak diajarkan Rasulullah S.A.W ~ Kemudian , ia bergegas untuk menghadap penguasa setempat kala itu dan meminta izin dan dukungan untuk membakar kitab itu.
Penguasa menerima usulan Syaikh Abu Hasan, setelah semua ulama hadir memenuhi undangan penguasa~ dan Abu Hasan menunjukkan kitab itu sekaligus menjelaskan kelemahan beberapa isinya.
Berdasarkan kesepakatan, akhirnya diputuskan untuk membakar kitab Ihya Ulumuddin yang ada itu pada hari Jum’at ~ Namun sebelum peristiwa itu terjadi, pada malam jum’at Abu Hasan bermimpi.
Dalam mimpinya, ia memasuki sebuah masjid tempat ia belajar. Ia melihat sosok wajah seseorang bersinar, Ternyata seseorang itu adalah Rasulullah SAW, yang sedang duduk didampingi Abu Bakar r.a dan Umar Ibn Khatab r.a, sedangkan yang dihadapan beliau adalah Imam Ghazali.
“Inilah orang mencela kitab saya,dan bermaksud membakarnya”, ungkap Imam al-Ghazali. Kemudian ia menyerahkan kitab itu kepada Rasulullah sambil berkata, “ Ya Rasulullah , sudilah kiranya menelaah kitab ini. Apabila didalamnya terdapat kekeliruan, saya minta maaf dan aku akan bertobat, jika dalam kitab ini sesuai dengan sunnah, tolong adili kami berdua.”
Kemudian Rasulullah menerima kitab yang diserahkan. Beliau membuka juz pertama. Tatkala sampai pada aqaid (pembahasan tentang akidah), tertulis “Nabi yang ummi”, Rasulullah SAW tersenyum, Lalu Nabi SAW, bersabda, “Demi Allah, ini adalah kitab yang baik isinya”.
Rasulullah menyerahkan kitab itu kepada Abu Bakar dan menyetujuinya, Lalu Abu Bakar menyerahkan kepada Umar dan menyetujuinya. Keduanya berkata seperti apa yang dikatakan Rasulullah SAW.
Rasulullah memerintahkan agar Abu Hasan dicambuk sebanyak 25 kali, Namun Abu Bakar meminta keringanan “Ya,. Rasulullah ~ orang ini berbuat begini karena hati-hati dan hormat kepada sunnahmu”.
Akhirnya Syaikh Abu Hasan~hanya dicambuk 5 kali dan Imam Ghazali memaafkannya.
Anehnya, ketika Abu Hasan bangun tidur, merasakan sakit disekujur tubuhnya. Ia bertobat dan memerintahkan kepada murid-muridnya untuk menjaga dengan baik kitab Ihya Ulumuddin dan tidak membakarnya, dan pagi hari itu juga melaporkannya kepada Penguasa dikala itu, tentang pengalaman dalam mimpinya.
Apa yang dilakukan Imam Ghazali adalah bentuk ijtihad. Setiap ijtihad belum tentu diajarkan Rasulullah dan apa yang TIDAK diajarkan Rasulullah belum tentu bid’ah.
Dari kisah nyata ini mudah-mudahan dapat diambil sebuah pelajaran, bahwa setiap perbedaan pendapat harus disikapi dengan meng-klarifikasinya.
Islam kaya dengan perbedaan-perbedaan~Bukan berarti perbedaan itu menjadi permusuhan, saling menjatuhkan dan mengajak seseorang untuk membencinya.
Wallahu ‘alam bishawwab.
Al Qur’an :
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta) ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat (Rahmat-rahmat) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Gagah Perkasa Lagi Maha Bijaksana .
[QS.Luqman, ayat 27]

Rabu, 14 Oktober 2015

Dasar Hukum Tahlilan dan Yasinan




بسم الله الر ححمن الرحيم
Akhir Akhir  ini umat Islam mungkin telah lelah dengan polemik klassik yang terjadi di Indonesia diantaranya masalah yasinan dan tahlilan. Silang pendapat antara pihak yang setuju bahkan membudayakan yasinan dan tahlilan, dengan Pihak yang tidak setuju dengan yasinan tahlilan bahkan menganggap bahwa tahlilan dan yasinan adalah perkara bid’ah dan kesesatan,hingga saat ini  masih terjadi,yang menjadi korban adalah masyarakat ‘awam yang belum  faham devinisi  bid’ah dan belum menyadari bahwa semua yang dibaca dan yang dilakukan didalam pelaksanaan tahlilan dan yasinan memiliki landasan hukum baik dari Al Quran atau Al Hadits.
Dimana-mana baik di dalam pengajian-pengajian umum, ta’lim-ta’lim rutin setiap kali membicarakan bid’ah maka pasti yasinan dan tahlilan menjadi contohnya. Mereka mengatakan bahwa yasinan dan tahlilan adalah bid’ah dholalah karena tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah dan para sahabat, yasinan dan tahlilan adalah budaya hindu yang dimodifikasi dengan ajaran Islam, bahkan yasinan dan tahlilan sudah mengarah kepada kesyirikan,dan pelakunya terancam masuk kedalam Neraka.
Sebelum kita berani mengatakan bahwa tahlilan dan yasinan adalah bid’ah,ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui/mencari tahu devinisi Bid’ah menurut para ‘ulama, kemudian kita mencari tahu devinisi tahlilan dan yasinan,setelah kita tahu devinisi keduanya baru kita menyimpulkan apakh tahlilan dan yasinan termasuk bid’ah dholalah,atau sunnah.?
DEVINISI BID’AH
Imam Syafi’i rahimahullah,seorang ‘ulama besar pendiri madzhab syaafi’iyyah,mendefinisikan, bid’ah sbb,
ما أحدث يخالف كتابا أو سنة اأو أثرا أو اجماعا, فهذه البدعة الضلالة. وما أحدث من الخير, لا خلاف فيه لواحد من هذه الأصول, فهذه محدثة غير مذمومة.
“ Bid’ah adalah apa-apa yang diadakan yang menyelisihi kitab Allah dan sunah-NYA, atsar, atau ijma’ maka inilah bid’ah yang sesat. Adapun perkara baik yang diadakan, yang tidak menyelisihi salah satu pun prinsip-prinsip ini maka tidaklah termasuk perkara baru yang tercela.”

Imam Ibnu Rojab rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul “ Jami’ul Ulum wal Hikam “ mengatakan bahwa bid’ah adalah,
ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً ،
“ Bid’ah adalah apa saja yang dibuat tanpa landasan syari’at. Jika punya landasan hukum dalam syari’at, maka bukan bid’ah secara syari’at, walaupun termasuk bid’ah dalam tinjauan bahasa.”

Dalam definisi bid’ah yang dikemukakan oleh para ulama’ di atas, bukankah bisa difahami bahwa perkara baru atau perkara yang tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW itu dibagi dua yaitu perkara baru yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam syare’at dan perkara baru yang ada dasarnya dalam syare’at. Ibnu Rojab menegaskan bahwa perkara baru yang ada dasarnya dalam syare’at, itu tidak bisa dikatakan bid’ah secara syare’at walaupun sebenarnya ia termasuk bid’ah secara bahasa, dan jika suatu amalan dianggap bid’ah secara bahasa,tapi tidak secara syare’at,maka amalan tersebut boleh dilakukan,selagi tidak ada nash yang nyata nyata melarangnya.

Setelah kita tahu devinisi bid’ah menurut para ‘ulama,sekarang mari kita lihat devinisi tahlilan dan yasinan.

DEFINISI TAHLILAN DAN YASINAN
Kata Tahlilan berasal dari bahasa Arab tahliil (تَهْلِيْلٌ) dari akar kata:
هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا
yang berarti mengucapkan kalimat: لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Kata tahlil dengan pengertian ini telah muncul dan ada di masa Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى .رواه مسلم
“ Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
sedangkan yasinan adalah acara membaca surat yasin yang biasanya juga dirangkai dengan tahlilan. Di kalangan masyarakat Indonesia istilah tahlilan dan yasinan populer digunakan untuk menyebut sebuah acara dzikir bersama, doa bersama, atau majlis dzikir. Singkatnya, acara tahlilan, dzikir bersama, majlis dzikir, atau doa bersama adalah ungkapan yang berbeda untuk menyebut suatu kegiatan yang sama, yaitu: kegiatan individual atau berkelompok untuk berdzikir kepada Allah SWT, Pada hakikatnya tahlilan/yasinan adalah bagian dari dzikir kepada Allah SWT

2. Dalil-dalil tentang dzikir bersama
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ مُعَاوِيَةُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا أَجْلَسَكُمْ ؟. قَالُوا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا. قَالَ: آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ؟ قَالُوا: وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ. قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ الْمَلَائِكَةَ . رواه أحمد و مسلم و الترمذي و النسائي
“ Dari Abu Sa'id al-Khudriy radliallahu 'anhu, Mu'awiyah berkata: Sesungguhnya Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam pernah keluar menuju halaqah (perkumpulan) para sahabatnya, beliau bertanya: "Kenapa kalian duduk di sini?". Mereka menjawab: "Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah dan memujiNya sebagaimana Islam mengajarkan kami, dan atas anugerah Allah dengan Islam untuk kami". Nabi bertanya kemudian: "Demi Allah, kalian tidak duduk kecuali hanya untuk ini?". Jawab mereka: "Demi Allah, kami tidak duduk kecuali hanya untuk ini". Nabi bersabda: "Sesungguhnya aku tidak mempunyai prasangka buruk terhadap kalian, tetapi malaikat Jibril datang kepadaku dan memberi kabar bahwasanya Allah 'Azza wa Jalla membanggakan tindakan kalian kepada para malaikat". (Hadits riwayat: Ahmad, Muslim, At-Tirmidziy dan An-Nasa`iy).
Jika kita perhatikan hadits ini, dzikir bersama yang dilakukan para sahabat tidak hanya sekedar direstui oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi Nabi juga memujinya, karena pada saat yang sama Malaikat Jibril memberi kabar bahwa Allah 'Azza wa Jalla membanggakan kreatifitas dzikir bersama yang dilakukan para sahabat ini kepada para malaikat.
Sekarang marilah kita perhatikan hadits berikut ini
عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ أَنَّهُ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ. رواه مسلم
"Dari Al-Agharr Abu Muslim, sesungguhnya ia berkata: Aku bersaksi bahwasanya Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudzriy bersaksi, bahwa sesungguhnya Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidak duduk suatu kaum dengan berdzikir bersama-sama kepada Allah 'Azza   wa Jalla, kecuali para malaikat mengerumuni mereka, rahmat Allah mengalir memenuhi mereka, ketenteraman diturunkan kepada mereka, dan Allah menyebut mereka dalam golongan orang yang ada disisiNya". (Hadits riwayat Muslim)
dan masih banyak lagi hadts hadits shohih yang menjelaskan tentang ke utamaan dzikir berjama’ah.
3. DASAR - DASAR BACAAN YANG ADA DALAM ACARA YASINAN DAN TAHLILAN

Seluruh bacaan dan dzikir yang kita baca dalam yasinan dan tahlilan semua mengandung ke utamaan – ke utamaan,dan Rosululloh SAW sendiri menyuruh  kita untuk membacanya.
Bacaan-bacaan yang selalu dibaca dalam acara tahlilan yaitu:
1. Membaca Surat Al-Fatihah.
Dalil mengenai  keutaman Surat Al Fatihah:
Sabda Rosululloh SAW.
Artinya: "Dari Abu Sa`id Al-Mu'alla radliallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda kepadaku: "Maukah aku ajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam Al-Qur'an, sebelum engkau keluar dari masjid?". Maka Rasulullah memegang tanganku. Dan ketika kami hendak keluar, aku bertanya: "Wahai Rasulullah! Engkau berkata bahwa engkau akan mengajarkanku surat yang paling agung dalam Al-Qur'an". Beliau menjawab: "Al-Hamdu Lillahi Rabbil-Alamiin (Surat Al-Fatihah), ia adalah tujuh surat yang diulang-ulang (dibaca pada setiap sholat), ia adalah Al-Qur'an yang agung yang diberikan kepadaku".
(Hadits riwayat: Al-Bukhari).
2. Membaca Surat Yasin.
Dalil mengenai keutamaan Surat Yasin.
Sabda Rosuululloh SAW
“Artinya”Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu., ia berkata: "Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membaca surat Yasin di malam hari, maka paginya ia mendapat pengampunan, dan barangsiapa membaca surat Hamim yang didalamnya diterangkan masalah Ad-Dukhaan (Surat Ad-Dukhaan), maka paginya ia mendapat mengampunan". (Hadits riwayat: Abu Ya'la). Sanadnya baik. (Lihat tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir Surat Yaasiin)


Rosululloh SAW juga bersabda,
Artinya“ Dari Ma'qil bin Yasaar radliallahu 'anhu, ia berkata: Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Bacalah Surat Yaasiin atas orang mati kalian" (Hadits riwayat: Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sabda Rosululloh SAW,
Artinya“ Dari Ma'qil bin Yasaar radliallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: Surat Al-Baqarah adalah puncak Al-Qur'an, 80 malaikat menyertai diturunkannya setiap ayat dari surat ini. Dan Ayat laa ilaaha illaa Huwa Al-Hayyu Al-Qayyuumu (Ayat Kursi) dikeluarkan lewat bawah 'Arsy, kemudian dimasukkan ke dalam bagian Surat Al-Baqarah. Dan Surat Yaasiin adalah jantung Al-Qur'an, seseorang tidak membacanya untuk mengharapkan Allah Tabaaraka wa Ta'aalaa dan Hari Akhir (Hari Kiamat), kecuali ia diampuni dosa-dosanya. Dan bacalah Surat Yaasiin pada orang-orang mati kalian".
(Hadits riwayat: Ahmad)
3. Membaca Surat Al-Ikhlash.
Dalil mengenai keutamaan Surat Al-Ikhlash.
Rosululloh SAW bersabda,
Artinya“ Dari Abu Said Al-Khudriy radliallahu 'anhu, ia berkata: Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya: "Apakah kalian tidak mampu membaca sepertiga Al-Qur'an dalam semalam?". Maka mereka merasa berat dan berkata: "Siapakah di antara kami yang mampu melakukan itu, wahai Rasulullah?". Jawab beliau: "Ayat Allahu Al-Waahid Ash-Shamad (Surat Al-Ikhlash maksudnya), adalah sepertiga Al-Qur'an"
(Hadits riwayat: Al-Bukhari).
Imam Ahmad meriwayatkan:
Artinya“ Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam mendengar seseorang membaca Qul huwaAllahu Ahad (Surat Al-Ikhlash). Maka beliau bersabda: "Pasti". Mereka (para sahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang pasti?". Jawab beliau: "Ia pasti masuk surga".
(Hadits riwayat: Ahmad).
4. Membaca Surat Al-Falaq
5. Membaca Surat An-Naas

Dalil keutamaan Surat Al-Falaq dan An-Naas.
Artinya“ Dari Aisyah radliallahu 'anhaa, "bahwasanya Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam bila merasa sakit beliau membaca sendiri Al-Mu`awwidzaat (Surat Al-Ikhlas, Surat Al-Falaq dan Surat An-Naas), kemudian meniupkannya. Dan apabila rasa sakitnya bertambah aku yang membacanya kemudian aku usapkan ke tangannya mengharap keberkahan dari surat-surat tersebut".
(Hadits riwayat: Al-Bukhari).
6. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 5
7. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 163
8. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi)
9. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 284 sampai akhir Surat.
Dalil keutamaan ayat-ayat tersebut:
Artinya"Dari Abdullah bin Mas'ud radliallahu 'anhu, ia berkata: "Barangsiapa membaca 10 ayat dari Surat Al-Baqarah pada suatu malam, maka setan tidak masuk rumah itu pada malam itu sampai pagi, Yaitu 4 ayat pembukaan dari Surat Al-Baqarah, Ayat Kursi dan 2 ayat sesudahnya, dan 3 ayat terakhir yang dimulai lillahi maa fis-samaawaati..)" (Hadits riwayat: Ibnu Majah).

10. Membaca Istighfar ,
Dalil keutamaan membaca istighfar:
Allah SWT berfirman:
 "Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat". (QS. Huud: 3)

Sabda Rosululoh SAW.
“ Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu : Aku mendengar Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Demi Allah! Sungguh aku beristighfar (memohon ampun) dan bertaubat kepadaNya lebih dari 70 kali dalam sehari". (Hadits riwayat: Al-Bukhari).
Sbda Rosululloh SAW.
“ Dari Al-Aghar bin Yasaar Al-Muzani radliallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia! Bertaubatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepadaNya seratus kali dalam sehari". (Hadits riwayat: Muslim).
11. Membaca Tahlil : لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ
12. Membaca Takbir : اَللهُ أَكْبَرُ
13. Membaca Tasbih : سُبْحَانَ اللهِ
14. Membaca Tahmid : الْحَمْدُ للهِ
Dalil mengenai keutamaan membaca tahlil, takbir dan tasbih:
 Sabda Rosululloh SAW.
Artinya“ Dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhumaa, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Sebaik-baik Dzikir adalah ucapan Laa ilaaha illa-Llah, dan sebaik-baik doa adalah ucapan Al-Hamdi li-Llah". (Hadits riwayat: At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
 Sabda Rosululloh SAW.
Artinya“ Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Ada dua kalimat yang ringan di lidah, berat dalam timbangan kebaikan dan disukai oleh Allah Yang Maha Rahman, yaitu Subhaana-Llahi wa bihamdihi, Subhaana-Llahi Al-'Adzim".( Hadits riwayat: Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).
Sabda Rosululloh.
Artinya“ Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan tahlil itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar makruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
Demikianlah dalil-dalil yang biasa dipakai sebagai dasar dilaksanakanya amal tahlilan dan yasinan oleh kaum muslimin yang mendukung tahlilan dan yasinan. Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengajak pembaca sekalian harus setuju dengan tahlilan dan yasinan, tetapi lebih sebagai keprihatinan penulis terhadap kondisi umat Islam khususnya di Pulau Batam, yang saling menyalahkan, membid’ahkan bahkan sampai mengkafirkan satu sama lain. Padahal ini hanya disebabkan  perbedaan-perbedaan pendapat para ‘ulama kita, yang para ulama itu sendiri sebenarnya sangat longgar dalam mensikapinya. Tahlilan dan yasinan adalah salah satu amalan yang selalu dicecar dengan kata-kata sesat, bid’ah bahkan sampai kekafiran. Dan bisa dikatakan bahwa di Batam ini, tahlilan dan yasinan menjadi icon tudingan bid’ah oleh semua pihak yang tidak setuju dengan tahlilan dan yasinan. Setiap pembicaraan bid’ah, ahli bid’ah, menyalahi sunah, sesat dan lain sebagainya pasti menjadikan yasinan dan tahlilan sebagai contohnya.
Satu hal yang harus kita ingat,
Bahwa menjadikan tahlilan dan yasinan sebagai icon tudingan bid’ah , telah menyebabkan kaum muslimin lalai terhadap masalah-masalah yang lebih penting dan prinsipil, seperti pemikiran aqidah yang jelas-jelas kebid’ahan dan kesesatanya yang juga berkembang pada hari ini. Kaum muslimin lalai bahwa di negeri ini ajaran syi’ah dan ahmadiyah terus merangkak maju dan berkembang dengan doktrin dan komunitasnya yang semakin hari semakin kuat. Kaum muslimin juga lalai bahwa kesesatan dan kemusyrikan yang hakiki di abad modern ini, yakni materialisme dan hedonisme, telah menggerogoti ketauhidan dan arti nilai ketuhanan yang bersemayam di hati manusia secara luas. Kaum muslimin juga lalai bahwa saat ini banyak sekali muncul kelompok-kelompok sempalan yang mengusung pemahaman sesat dan sangat jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya seperti jama’ah salamullah, agama baha’iyah ingkarus sunah dan lain-lainya.
Mudah-mudahan tulisan yang sangat sederhana ini bisa mengembalikan semangat kaum muslimin yang setuju dengan YASINAN DAN TAHLILAN,dan bagi kaum muslimin yang ANTI YASINAN DAN TAHLILAN,mudah-mudahan bisa menjaga amanah Allah yang berupa lidah,sehingga ia tidak menjadi sebab binasanya sang pemilik lidah itu sendiri.


Wallahu a’lamu bisshowab.







Original post:
http://ulamakelasik.blogspot.co.id/2011/05/tahlilan-dan-yasinan-adalah-sunnah.html?m=1">Abu



AS SUNNAH, IJMA’, QIYAS DAN IJTIHAD


MUNAZARAH ULAMA TENTANG AS SUNNAH, IJMA’, QIYAS DAN IJTIHAD SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI’








A. As Sunnah atau Al-Hadits
 1. Definisi As Sunnah
 Al Imam Abu Zahro’, mendifinisikan As Sunnah adalah
السنة النبوية هي اقوال النبى صلى الله عليه وسلم و افعا له وتقريراته
Sunnah Nai adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.
 2. Pembagian Sunnah Dilihat dari bentuknya
 a. Sunnah Qouliyah
 yakni berbentuk ucapan nabi SAW, misalnya:
عن ابي هريرةرض قال صعلم لا يشربن احدكم قاءما
”Janganlah minum salah seorang daripada kamu sambil berdiri.
 b. Sunnah fi’liyah
 Sunnah berupa perilaku nabi SAW, artinya Nabi SAW melakukan sesuatu perbuatan, misalnya:
عن ابن عباس رض قال سقيت رسول الله صعلم من زمن و هوقاءم
Dari Ibu Abbas RA., ia berkata: Saya telah memberi minum Rosulullah SAW dengan air zamzam, sedangkan beliau dalam keadaan berdiri.
 c. Sunnah Taqririyah
 Yakni Nabi SAW membiarkan perbuatan sahabat, artinya tidak menegur perbuatan yang perbuatan yang dilakukan oleh sahabat, misalnya:
عن ابن عمر قال ناء كل على عهدرسول الله صعلم ونخن نمشي ونشرب ونخن قيام
”Saya pernah makan dihadapan Rasulullah SAW, sedangkan kami dalam keadan berjalan, dan kami pernah minum dihadapan beliau sedangkan kami berdiri.”
d. Sunnah Hammiyah
 Yaitu cita-cita Nabi SAW. Para ulama’ berbeda pendapat tentang stutus dalil Sunnah Hamiyah ini. Ada yang menganggap bahwa sunnah hammiyah menjadi sumber hukum karena telah disabdakan oleh Nabi SAW, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sunnah hammiyah tidak menjadi sumber hukum.
 Contoh hammiyah Nabi SAW adalah:
لئن بقيت الى قابل لأصومن التا سع يعنى يوم عاشوراء
Sungguhu jika aku masih hidup sampai tahun depan aku akan puasa hari kesembilan dari hari Asyuro.”
3. Pembagian As Sunnah dari Bilangan Ruwahya
 a. As Sunnah / Al Hadits Mutawatir
 Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan pada tiap tingkatan sanadnya oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya dan menurut akal masing-masing tingkatan perowi itu tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong.
 b. Hadits Masyhur
 Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang pada lapisan pertama (sahabat) dan lapis kedua (tabi’in), kemudian setelah itu tersebar luas dinukilkan oleh segolongan (banyak) orang yang tak dapat didakwa mereka itu bersepakat berbuat bohong.
 c. Hadits Ahad
 Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang perorang atau beberapa orang, mulai lapisan pertama sampai terakhir, tetapi tidak cukup terdapat padanya tanda-tanda yang dapat menjadikannya hadits Masyhur apalagi hadits mutawatir.
 4. Pembagian As Sunnah ditinjau dari Shoheh Tidaknya
 a. Hadits Shahih
 Hadits shoheh adalah hadits yang bersambung-sambung sanadnya oleh para perowi yang dhobit (antara lain bersifat kokoh ingatan, adil jujur dan lain-lain) dan tidak terdapat padanya sifat-sifat pribadi yang menjadikan keganjilan dan cacat-cacat yang memburukkannya atau tidak dapat dipercayai selaku pembawa khabar berita.
 b. Hadits hasan
 Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan bersambung-sambung sanadnya, namun ada perowinya yang kurang mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna.
 Menurut Ibnu Taimiyah, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan banyak jalan datangnya, tak ada dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta atau sadz.
 c. Hadits dlo’if
 Hadits dlo’if atau lemah adalah hadits yang tidak didapati didalamnya syarat-syarat hadits shoheh maupun hadist hasan.
 d. Hadits Maudlu’ (palsu)
 Hadits maudlu adalah hadits palsu, yakni bukan dinukilkan dari Nabi SAW, misalnya:
تخذوابالعقيق فاءنه ينفى الفقرا
Pakailah cincin permata akik, karena ia dapat menghilangkan kefakiran.
 5. Dalalah dari Al Hadits
 Jumhur ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i (menyakinkan) sedangkan hadits ahad adalah dhonni (disangka kuat kebenarannya), sehingga hanya hadits mutawatir yang dapat dipegangi sebagai dalil/hujjah masalah aqoid, sedangkan hadits ahad hanya dapat sebagai hujjah masalah amalan-amalan.
 6. Status hukum sunnah / hadits
 Para ulama’ sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum syar’i yang kedua sesudah Al Qur’anul Karim.
 7. Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an
 Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an itu sebagai uruta yang mengiringi atau sebagai urutan kedua sesudah Al-Qur’an.
 Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
 a.    As Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada didalam Al-Qur’an.
 b.    As Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam Al Qur’an,  dalam hal ini As Sunnah menjelaskan tentang Mujmalnya Al Qur’an, Mutlaqnya Al Qur’an.
 c.    As Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al
 Qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain sebagainya.


B. Al-Ijma’ الاجماع
1. Definisi / ta’arif Ijma’
Yang dimaksud dengan ijma’ adalah
اتفاق مجتهدى امة محمد صلم بعدوفا ته في عصر من الآ عصارعال امر من الامور
Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata / masalah dari beberapa masalah.
 2. Kehujjahan Ijma’
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah dhonni, bukan qoth’i. Oleh karena itu ijma’ hanya dapat dipergunakan sebagai peganan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai sebagai pegangan dalam bidang aqidah (I’tiqod), sebab urusan aqidah harus berdasarkan dalil yang qoth’i.
 3. Sandaran Ijma’
Ijma’ dipandang sah manakala bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah:
الاجماع ليمس من ال لة المسـتفلة
Ijma’ itu bukanlah merupakan dalil yang berdiri sendiri
 4. Pembagian Ijma’
Dilihat dari caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.
 1) Ijma’ qouli (القولي)
Ijma’ qouli adalah ijma’ berupa ucapan, dimana para ulama’ mujtahid yang berijma’ itu menyatakan persetujuannya atau kesepakatan pendapatnya dengan terang-terangan memakai ucapan atau tulisan. Ijma’ ini disebut juga dengan ijma qoth’i (ijma’ yang menyakinkan)
 2) Ijma’ sukuti (السكوتي)
Ijma’ sukuti (ijma’ diam), yakni apabila persetujuan ulama mujtahid pada pendapat ulama mujtahid lain itu dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak mengomentari sama sekali terhadap pendapat ulama mujtahid lain itu, namun diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan. Ijma’ ini disebut dengan ijma’ dhonni (kurang meyakinkan).
 Sikap ulama terhadap ijma’ sukuti antara lain adalah:
 a. Imam Syafi’i, Imam Al baqillani dari golongan As’aiyah dan sebagian ulama hanafi seperti Ibnu Iyan menyaakan bahwa ijma’ sukuti tidak bisa menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama’ yang setuju dan tidak setuju.
 b. Al Juba’i menyatakan ijma’ sukuti bisa menjadi hujjah sebagaimana ijma’ qouli.
 c. Imam Al Amidi menyatakan bahwa ijma’ sukuti bias saja menjadi hujjah kehujjahannya adalah dhonni bukan qoth’i.


C. Al Qiyas (القينا س)
1. Definisi Qiyas
 Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
 2. Rukun Qiyas
 Rukun qiyas ada empat yaitu:
 a. Pokok لاصل yakni yang menjadi ukuran (المقيس عليه) disebut juga dengan tempat menserupakan (المشبه به)
b. Cabang / الفرع yakni hal yang diukurkan (المقيس) atau hal yang diserupakan (لمشلبه)
c. Sebab / العلة yakni sesuatu sebab yang menghubungkan antara pokok dan cabang.
 d. Hukum / لحكم yakni hukum cabang yang dihasilkan dari pengqiyasan tersebut.
 3. Macam-macam Qiyas
 Macam-macam qiyas itu antara lain:
 a.    Qiyas Aula (الاء ولى) yakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat dari illat pada pokok. Misalnya : kita melarang berkata “HUS” pada orang tua, maka kita tidak boleh menempeleng orang tua, karena hus itu menyakiti rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan jasmani.
 b.     Qiyas Musawi (المساوي), yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya dengan illat pada pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
 c.    Qiyas Dalalah (الدلا لة) yakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang serupa satu sama lain, bahwa illat didalamnya menunjukkan adanya hukum, tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya zakat bagi anak yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.
 d.    Qiyas syibih (الشبة), yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari antara kedua pokok tersebut yang paling cocok. Misalnya mendoakan orang kafir yang menyumbang harta untuk kepentingan sosial Islam.
 e.    Qiyas Adwan (الآدوان) yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada hukum yang terhimpun pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai emas, karena ada hukum ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan sebagai tempat air minum.
 4. Kehujjahan Qiyas
 Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni dengan cara mengqiyas.
 D. Ijtihad
 1.    Pengertiannya
الاجتهاد هواستفراغ الوسع في نيل حكم شر عي بطريق الاء ستنباط من الكتاب والسنة
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).
هوالفقيه المستفرغ لو سعه لتحصيل ظن بحكم شر عي بطريق الاء ستنباط منهما
Mujtahid adalah para ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh keanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
 2.    Hukumnya
 Ada tiga kriteria hukum berijtihad:
 a.    Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya.
 b.    Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak dikhawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
 c.    Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu hukum yang belum terjadi baik ditanya ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
 3.    Syarat-syarat menjadi mujtahid
 a.    Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dan segala     ilmu yang terkait dengannya.
 b.    Kalau ia memegangi ijma, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah di ijma’kan.
 c.    Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini merupakan dasar     pokok didalam berijtihad.
 d.    Mengetuhi dengan mendalam masalah nasekh mansukh mana dalil yang sudah mansukh mana pula yang tidak mansukh.
 e.    Mengetahui dengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.
 4.    Pembagian ijtihad
 Pada garis besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni:
 a. Ijtihad الفردية (fardiyah), yakni ijtihad yang dilakukan oleh orang-perorangan, tanpa melibatkan persetujuan atau pertimbangan mujtahid lain.
 b. Ijtihad لجماعية (jam’iyah), yakni ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid) lan untuk bermusawarah menetapkan hukum sesuatu persoalan.
 5. Keperluan terhadap ijtihad
 Sejak Muadz bin Jabal diutus Rosul ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al Quran dan As Sunnah. apabila zaman sekarang ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.
 5.    Perbedaan antara ijtihad dengan qiyas
 Ijtihad itu mengenai kejadian-kejadian, baik yang ada nash atau yang tak ada nash-nya. Qiyas itu mengukur kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya tetapi terdapat dalam syara’ yakni sesuatu yang dijadikan pokok untuk diqiyaskan kepadanya, maka qiyas adalah sumber dari ijtihad.

E. Pengaruh Sunnah Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap Perkembangan Tasyri’
Seiring dengan lajunya prkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka muncullah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur’an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru dibutuhkanlah konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep "ijtihad" yang awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru.
 1. Periode fiqh di Era Kenabian
 Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu datangnya wahyu merupakan justifikasi dari al-Qur`an. Kemudian dengan ijtihadnya para sahabat ? sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan ijtihadnya
 2. Periode fiqh di era Khulafaurrosyidun
 Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang disebut dengan Ijma` dan Qiyas.
 Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu.
 3. Periode fiqh di era Sahabat dan Tabi’in
 Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
 Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
 4. Periode fiqh di era zaman keemasan
 Masa ini sangat terkenal dengan perkembangan kebudayaan perluasan perdagangan dari semua cabang ilmu ekonomi serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. kira-kira pada abad ke delapan adalah banyak ilmu pengetahuan yang berbahasa ajam kedalam bahasa arab, terutama dari bahasa Parsi dan bahasa Yunani. Ilmu-ilmu fiqh berkembang sangat pesat yaitu banyaknya tafsir-tafsir al-Qur`an dan kumpulan-kumpulan hadis. Hingga yang paling menonjol dalam periode ini adalah lahirnya beberapa fuqaha sunni yang terbagi ke dalam dua golongan yaitu fuqaha sunni ahli ra`yi di Irak dengan pelopor Imam Abu Hanifah, dan golongan yang kedua fuqaha sunni hadis di Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas.
 5. Periode fiqh diera stabnasi dan jumud
 Pada pertengahan abad IV Bani Abasiyah mulai terdapat tanda-tanda kejatuhannya, karena disebabkan banyak daerah-daerah dominannya melepaskan diri dari khalifah Abbasiyah dengan mendirikan negara sendiri. Akibatnya kekuasaan menjadi lemah dan mundur. Dengan demikian yang dahulu pemerintahan selalu dipegang oleh seorang muslim, akhirnya berpindah tangan kepada orang yang tak mengenal TuhþKan, bengis, kejam, yaitu Jenghis Khan serta anak keturunannya. Hal ini pergolakan politik semacam ini sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami kemunduran. Dari situasi politik yang kacau pada waktu itu, menyebabkan kemunduran dalam hal ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya munculah faham taqlid, Yaitu menerima pendapat secara mutlak dari seorang imam (mazhab) yang tertentu untuk mengikuti fatwa-fatwa hukumnya. akhirnya fuqaha SunnþÃmenutup pintu ijtihad, sehingga berkembang bid`ah, kurafat kejumudan berpikir.
 6.    Periode fiqh di era kebangkitan kembali
 Kita dapat melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-kurangnya terdapat empat pola utama yang menonjol. Pertama, modernisme, dalam pola ini digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam alam sekuler. Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial. Ketiga, tradisional, pola ini keþÃnderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-Qur`an. Keempat, neo survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak di kalangan ulama dan fuqaha merespon perkembangan yang baru dengan memfokuskan terhadap kepedulian sosial.